REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Agus Salim (51 tahun) terus berdoa di tribun. Ia menangis ketika anaknya Muhammad Febyanto (23) berlari dilintasan estafet 400×4 meter. Sebagai pelari pertama peran Febyanto sangat menentukan. Namun, ia berhasil melesat meninggalkan tim Jawa Tengah dan Papua.
Bersama Wahyu Fetrianto, Bayu Mas Ari Sadewa, dan Supriadi, Febyanto meraih emas di divisi T54 lari estafet di Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) XV Jawa Barat. Agus yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga sendal di Masjid Agung Cimahi langsunh memeluk erat anaknya setelah berhasil menjadi juara di dalam koridor tribun.
"Saya sedih menangis, berdoa terus di dalam hati supaya anak saya diberi kekuatan," katanya sambil menangis, Kamis (20/10).
Agus mengatakan, ia tidak pernah merasa memiliki kekurangan. Febyanto terlahir tuna rungu. Tapi Agus melihat, Febyanto memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain.
Ketika SMP kelas dua, guru Febyanto berbicara dengan Agus. Guru tersebut mengatakan Febyanto memiliki talenta sebagai seorang atlit. Sejak saat itu, Agus mendorong dan memotivasi putranya untuk berprestasi. "Ikut Peparnas Riau, tapi tidak dapat emas," katanya.
Sejak remaja Febyanto meraih banyak medali dari Pekan Olahraga Daerah. "Di rumah banyak banget medali," katanya bangga.
Bersama istri dan kerabatnya, Agus datang dari Cimahi ke Bandung untuk memberi dukungan pada Febyanto. Di pinggir lapangan Agus tersenyum saat Febyanto dikalungkan medali emas di atas podium. Berjuangan satu tahun latihan untuk Peparnas ini tidak sia-sia. Febyanto menambah koleksi medali diajang nasional di rumahnya. "Tinggal 200 meter sekali lagi mudah-mudahan dapet emas lagi," katanya.
Agus mengatakan, tidak pernah mengkhawatirkan masa depan Febyanto. Mengingat masa depan di Indonesia seringkali tidak jelas. Agus mengatakan, dengan bakat dan kelebihan Febyanto ia yakin anaknya bisa meraih masa depan yang cerah. "Saya serahkan kepada Allah semuanya," katanya.
Sumber: Republika